Senin, 19 Desember 2011

Hiperpituitari dan Hipopituitari

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.     Anatomi Fisiologi Kelenjar Pituitari
1.    Pengertian
Kelenjar hipofisis terdiri dari dua lobus,anterior dan posterior, yang memiliki asal embriologis berbeda. ( Greenstein & Wood .2006 : 9 )
Kelenjar pituitari (hipofisis) berukuran kurang lebih 1 cm dengan berat 500 mg. Terletak di sella tursica dari tulang sphenoid. Sella tursica dekat dengan chiasma opticum. Kelenjar hipofise sebenarnya terdiri dari dua kelenjar, pituitari anterior yang berukuran lebih besar terletak di anterior atau disebut adenohipofise dan pituitari posterior atau neurohipofise. Pituitari anterior biasa juga disebut sebagai Master gland, karena pengaruhnya pada kelenjar lain dan pada seluruh tubuh. Pengaruh ini dilaksanakan oleh 6 hormon yang diproduksi oleh sel yang berbeda- beda yang terdapat di lobus anterior hipofise, dan oleh dua hormon yang diproduksi oleh lobus posterior hipofise. ( Bare & Smeltzer .2001 : 1291 )

2.    Fungsi
Bagian anterior kelenjar hipofisis mempunyai banyak fungsi dan karena memiliki kemampuan dalam mengatur fungsi-fungsi dari kelenjar-kelenjar endokrin lain, maka bagian anterior kelenjar hipofisis ini dikenal juga dengan nama kelenjar utama (master of gland). Sel-sel hipofisis anterior merupakan sel-sel yang khusus menyekresikan hormon-hormon tertentu. Tujuh macam hormon dan peranan metabolik  fisiologinya telah diketahui dengan baik. Hormon- hormon tersebut adalah adrenocortocotropic hormone (ACTH), melanocyte-stimulating hormone (MSH), thyroid-stimulating hormone (thyrotropin, TSH), follicle-stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone(LH), growth hormone (GH), dan prolactin (PRL).
Beberapa hormon ini (ACTH, MSH, GH, dan prolaktin) merupakan polipeptida, sedangkan hormon yang lainnya (TSH, FSH, dan LH) merupakan glikoprotein. Penelitian morfologis menemukan bahwa setiap hormon disintesis oleh satu jenis sel tertentu. Dapat dikatakan bahwa bagian anterior kelenjar hipofisis sesungguhnya merupakan gabungan dari beberapa kelenjar yang berdiri sendiri-sendiri, yang semuanya berada di bawah pengawasan hipotalamus.
Lobus posterior kelenjar hipofisis atau neurohipofisis terutama berfungsi untuk mengatur keseimabangan cairan. Vasopresin atau hormon antidiuretik (ADH) terutama disintesis dalam nukleus supraoptik dan pareventrikular hipotalamus dan disimpan dalam neurohipofisis.
Thyroid stimulating hormon (TSH), adrenocorticotropic hormon (ACTH), dan gonadotropic hormon disebut tropic hormon karena hormon- hormon ini menstimulasi hormon lain untuk mensekresi hormon yang aktif yang mempengaruhi perubahan sel- sel tubuh tertentu. Hormon hipofise lain melaksanakan penggaruhnya pada sel tubuh secara langsung ( non tropik ). ( Brunner & Suddarth.2001 : 1293 )
 










3.    Hubungan antar hipotalamus dan kelenjar hipofise.
Hipotalamus terdiri dari sebuah nuklei dan berperan sebagai suatu penghubung yang penting antara mekanisme pengaturan neurologis dan hormonal. Hipotalamus melaksanakan pengontrolan pada kelenjar hipofise anterior dan terhadap kelenjar lain dan sel-sel tubuh. Hipotalamus (terletak pada jaringan sekitar ventrikel ketiga) dan lobus hipofise anterior dihubungkan oleh sistem perdarahan portal hipotalamus-hipofise (hipotalamus-hipofise portal blood system) dengan demikian neurosekresi releasing factor (RF) dan inhibiting factor (IF) dilakukan dari hipotalamus ke hipofise. Diduga bahwa masing-masing hormon hipofise memiliki RF dan IF yang menstimulir atau menghambat pelepasan hormon-hormon tersebut. Dengan diketahuinya struktur kimia dari suatu inhibitory dan releasing factor , istilah faktor diubah menjadi hormon.
Hipotalamus juga mengendalikan kelenjar hipofise posterior yang berhubungan dengannya secara struktural. ADH dan oksitosin sebenarnya diproduksi di hipotalamus dalam nuklei paraventrikular dan supraoptik dan dibawa oleh neuron melalui transport aksonal melalui cabang-cabang terminal yang terletak di lobus posterior hipofise. Disana mereka disimpan dan kemudian dilepaskan.

Hormon
Fungsi
Hipofise anterior
Growth hormon (GH)
Target organ : seluruh tubuh, kemungkinan bekerja pada kebanyakan jaringan melalui somatomedin. Berhubungan dengan pertumbuhan sel, tulang, dan jaringan lunak.
Meningkatkan mitosis
Mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.
Meningkatkan glukosa darah dengan menurunkan penggunaan glukosa, antagonis insulin.
Meningkatkan sintesa protein.
Meningkatkan kadar asam lemak bebas, lipolisis, dan pembentukan keton.
Meningkatkan retensi elektrolit dan cairan ekstraseluler.

Prolaktin (PRL)
Target organ : payudara dan gonad.
Perlu bagi perkembangan payudara dan laktasi.
Pengatur fungsi reproduksi pada pria dan wanita.
Thyroid Stimulating Hormon (TSH)
Target organ : tiroid
Perlu untuk pertumbuhan dan fungsi tiroid.
Adrenokorticoid-stimulating hormon (ACTH; Corticotropin)
Organ target: korteks  adrenal
Perlu untuk pertumbuhan dan mempertahankan ukuran kortek adrenal. Sedikit berperan dalam pelepasan mineralokortikoid (aldosteron).
Mengontrol pelepeasan glukokorticoid (kortisel) dan androgen adrenal.
Gonadotropin

Folikel stimulating hormon (FSH)
Luteinizing hormon (LH)
Target organ : gonad
Menstimulasi gametogenesis dan produksi seks steroid pada pria dan wanita.
Hipofise Posterior

Antidiuretic hormone (ADH)
Merubah membran tubulus ginjal untuk meningkatkan absorpsi air; merangsang otot polos usus, dan pembuluh darah.
Oxitocin
Merangsang kontraksi uterus dan pengeluaran air susu.










B.     Disfungsi kelenjar hipofise
Penyakit hipofise adalah penyakit yang tidak umum terjadi, namun dapat timbul sebagai kondisi hiperfungsi hipofise, hipofungsi hipofise, dan lesi/ massa setempat yang menyebabkan tekanan pada khiasma optikus atau bagian basal otak.
1.    Hiperfungsi kelenjar hipofise
Sering disebut juga hiperpituitarisme yaitu suatu kondisi patologis yang terjadi akibat tumor atau hiperplasi hipofise sehingga menyebabkan peningkatan sekresi salah satu hormon hipofise atau lebih. ( Hotma Rumahorbo, SKp. 1997 : 36 )
a.    Patofisiologi
Hiperfungsi hipofise dapat terjadi dalam beberapa bentuk bergantung pada sel mana dari kelima sel-sel hipofise yang mengalami hiperfungsi. Kelenjar biasanya mengalami pembesaran, disebut adenoma makroskopik bila diameternya lebih dari 10 mm, yang terdiri atas satu jenis sel atau beberapa jenis sel. Kebanyakan adalah tumor yang terdiri atas sel-sel laktotropik (juga dikenal sebagai prolaktinomas). Tumor yang kurang umum terjadi adalah adenoma somatotropik. Tumor yang terdiri atas sel- sel pensekresi TSH-, LH-, atau FSH- sangat jarang terjadi.
Prolaktinoma (adenoma laktotropin) biasanya adalah tumor kecil, jinak, yang terdiri atas sel-sel pensekresi prolaktin. Gejala yang khas pada kondisi ini sangat jelas pada wanita usia reproduktif dan dimana terjadi (tidak menstruasi, yang bersifat primer dan sekunder), galaktorea (sekresi ASI spontan yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan), dan infertilitas.
Adenoma somatotropik terdiri atas sel-sel yang mensekresi hormon pertumbuhan. Gejala klinik hipersekresi hormon pertumbuhan bergantung pada usia klien saat terjadi kondisi ini. Misalnya saja pada klien pre pubertas, dimana lempeng epifise tulang panjang belum menutup, mengakibatkan pertumbuhan tulang-tulang memanjang sehingga mengakibatkan gigantisme. Pada klien post pubertas, adenoma somatotropik mengakibatkan akromegali, yang ditandai dengan pembesaran ekstermitas (jari, tangan, kaki), lidah, rahang, dan hidung. Organ-organ dalam juga turut membesar (mis : kardiomegali).
Kelebihan hormon pertumbuhan menyebabkan gangguan metabolik, seperti hiperglikemia dan hiperkalsemia. Pengangkatan tumor dengan pembedahan merupakan pengobatan pilihan. Gejala metabolik dengan tindakan ini dapat mengalami perbaikan, namun perubahan tulang tidak mengalami regresi.
Adenoma kortikotropik terdiri atas sel-sel pensekresi ACTH. Kebanyakan tumor ini adalah mikroadenoma dan secara klinis dikenal dengan tanda khas penyakit cushing’s.

b.    Gigantisme dan Akromegali
Gigantisme dan akromegali disebabkan oleh sekresi GH yang berlebihan. Keadaan ini dapat diakibatkan tumor hipofisis yang menyekresi GH atau karena kelainan hipotalamus yang mengarah pada pelepasan GH secara berlebihan. Pada beberapa pasien dapat timbul akromegali sebagai respons terhadap neoplasia yang menyekresi GHRA ektopik. Pada pasien ini terdapat hiperplasia hipofisis somatotrop dan hipersekresi GH.
Bila kelebihan GH terjadi selama masa anak-anak dan remaja, maka pertumbuhan longitudinal pasien sangat cepat, dan pasien akan menjadi seorang raksasa. Setelah pertumbuhan somatis selesai, hipersekresi GH tidak akan menimbulkan GIGANTISME, tetapi menyebabkan penebalan tulang-tulang dan jaringan lunak. Keadaan ini disebut akromegali, dan penderita akromegali memperlihatkan pembesaran tangan dan kaki.
Penderita mungkin membutuhkan ukuran sarung tangan yang lebih besar. Kaki juga menjadi lebih besar dan lebar, dan penderita menceritakan mereka harus mengubah ukuran sepatunya. Pembesaran ini biasanya disebabkan oleh pertumbuhan dan penebalan tulang dan peningkatan pertumbuhan jaringan lunak.


Selain itu, perubahan bentuk raut wajah dapat membantu diagnosis pada insepeksi. Raut wajah menjadi semakin kasar, sinus paranasalis dan sinus frontalis membesar. Bagian frontal menonjol, tonjolan supraorbital menjadi semakin nyata, dan terjadi deformitas mandibula disertai timbulnya prognatisme (rahang yang menjorok ke depan) dan gigi geligi tidak dapat menggigit. Pembesaran  mandibula menyebabkan gigi-gigi renggang. Lidah juga membesar, sehingga penderita sulit berbicara. Suara menjadi lebih dalam akibat penebalan pita suara.
Deformitas tulang belakang karena pertumbuhan tulang yang berlebihan, mengakibatkan timbulnya nyeri dipunggung dan perubahan fisiologik lengkung tulang belakang.
Pemeriksaan radiografik tengkorak pasien akromegali menunjukkan perubahan khas disertai pembesaran sinus paranasalis, penebalan kalvarium, deformitas mandibula ( yang menyerupai bumerang ), dan yang paling penting ialah penebalan dan destruksi sela tursika yang menimbulkan dugaan adanya tumor hipofisis.
Bila akromegali berkaitan dengan tumor hipofisis, maka pasien mungkin mengalami nyeri kepala bitemporal dan gangguan penglihatan disertai hemianopsia bitemporal akibat penyebaran supraselar tumor tersebut, dan penekanan kiasma optikum.
Pasien dengan akromegali memiliki kadar basal GH dan IGF-1yang tinggi dan juga dapat diuji dengan pemberian glukosa oral. Pada subjek yang normal, induksi hiperglikemia dengan glukosa akan menekan kadar GH. Sebaliknya, pada pasien akromegali atau gigantisme kadar GH gagal ditekan.
CT-scan dan MRI pada sela tursika memperlihatkan mikroadenoma hipofisis, serta makroadenoma yang meluas ke luar sela mencakup juga sisterna diatas  sela, dan daerah sekitar sela, atau sinus sfenoid.
Pengobatan akromegali atau gigantisme lebih kompleks. Iridiasi hipofisis, pembadahan mengakibatkan penurunan atau perbaikan penyakit. Pengobatan medis dengan menggunakan octreotide, suatu analog somatostatin, juga tersedia. Octreoide dapat menurunkan supresi kadar GH dan IGF-1, mengecilkan ukuran tumor, dan memperbaiki gambaran klinis.


2.    Hipopituatarisme
Hipofungsi kelenjar hipofisis (hipopituatarisme) dapat terjadi akibat penyakit pada kelenjar hipofisis sendiri atau pada hipotalamus; namun demikian ,akibat kedua keadaan ini hakekatnya sama. Hipopituatarisme dapat terjadi akibat kerusakan lobus anterior kelenjar hipofisis. Panhipopituitarisme (penyakit simmond) merupakan keadaan tidak adanya seluruh sekresi hipofisis dan penyakit ini jarang di jumpai. Nekrosis hipofisis pascapartus (sindrom sheehan) merupakan penyebab lain kegagalan hipofisis yang jarang. ( Brunner & Suddarth.2001 : 1334 )
Insufisiensi hipofisis pada umumnya mempengaruhi semua hormon yang secara normal disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Oleh karena itu, manifestasi klinis dari panhipopituitarisme merupakan gabungan pengaruh metabolik akibat berkurangnya sekresi masing-masing hormon hipofisis.
Beberapa proses patologik dapat mengakibatkan insufisiensi hipofisis dengan cara merusak sel-sel hipofisis normal: (1) tumor hipofisis, (2) trombosis vaskular yang mengakibatkan nekrosis kelenjar hipofisis normal, (3) penyakit granulomatosa infiltratif, dan (4) idiopatik atau mungkin penyakit yang  bersifat autoimun. ( Brunner & Suddarth.2001 : 1334 )
Sindrom klinis yang diakibatkan oleh hipopituitarisme pada anak-anak dan orang dewasa berbeda-beda. Pada anak-anak, terjadi gangguan pertumbuhan somatis akibat defisiensi pelepasan GH. Dwarfisme hipofisis (kerdil)  merupakan konsekuensi dari defisiensi tersebut. Ketika anak-anak tersebut mencapai pubertas, maka tanda-tanda seksual sekunder dan genitalia eksterna gagal berkembang. Selain itu, sering pula ditemukan berbagai derajat insufisiensi adrenal dan hipotiroidisme; mereka mungkin akan mengalami kesulitan di sekolah dan memperlihatkan perkembangan intelektual yang lamban; kulit biasanya pucat karena tidak adanya MSH.
Kalau hipopituitarisme terjadi pada orang dewasa, kehilangan fungsi hipofisis sering mengikuti kronologis sebagai berikut : defisiensi GH, hipogonadisme, hipotiroidisme dan insufisiensi adrenal. Karena orang dewasa telah menyelesaikan pertumbuhan somatisnya, maka tinggi tubuh pasien dewasa dengan hipopituitarisme adalah normal. Manifestasi defisiensi GH mungkin dinyatakan dengan timbulnya kepekaan yang luar biasa terhadap insulin dan terhadap hipoglikemia puasa. Bersamaan dengan terjadinya hipogonadisme, pria menunjukan penurunan libido, impotensi dan pengurangan  progresif pertumbuhan rambut dan bulu di tubuh, jenggot, dan berkurangnya perkembangan otot. Pada wanita, berhentinya siklus menstruasi atau ammanorea, merupakan tanda awal dari kegagalan hipofisis. Kemudian diikuti oleh atrofi payudara dan genitalia eksterna. Baik laki-laki maupun perempuan menunjukkan berbagai tingkatan hipotiroidisme dan insufisiensi adrenal. Kurangnya MSH akan mengakibatkan kulit pasien ini kelihatan pucat.
Kadang kala, pasien memperlihatkan kegagalan hormon hipofisis saja. Dalam keadaan ini, penyebab defisiensi agaknya terletak pada hipotalmus dan mengenai hormon pelepasan yang bersangkutan.
Pada pasien dengan panhipopituitarisme, tingkat dasar hormon tropik ini rendah, sama dengan tingkat produksi hormon kelenjar target yang dikontrol oleh hormon-hormon tropik ini.
Pasien dengan hipopituitarisme, selain memiliki tingkat hormon basal yang rendah, juga tidak merespons terhadap pemberian hormon perangsang sekresi. Uji fungsi hipofisis kombinasi dapat dilakukan pada pasien ini dengan menyuntikkan (1) insulin untuk menghasilkan hipoglikemia, (2) CRH, (3) TRH, dan (4) GnRH. Hipoglikemia dengan kadar serum glukosa yang kurang dari 40mg/dl, normalnya menyebabkan pelepasan GH, ACTH, dan kortisol; TRH merangsang pelepasan TSH dan prolaktin; sedangkan GnRH merangsang pelepasan FSH dan LH. Pasien dengan hipopituitarisme gagal untuk merespons empat perangsang sekresi tersebut. Selain studi biokimia, juga disarankan pemeriksaan radiografi kelenjar hipofisis pada pasien yang diperkirakan menderita penyakit hipofisis, karena tumor-tumor hipofisis seringkali menyebabkan gangguan-gangguan ini.
Pengobatan hipopituitarisme mencakup penggantian hormon-hormon yang kurang. GH manusia, hormon yang hanya efektif pada manusia, dihasilkan dari teknik rekombinasi asam deoksiribonukleat (DNA), dapat diguanakan untuk mengobati pasien dengan defisiensi GH dan hanya dapat dikerjakan oleh dokter spesialis. GH manusia jika diberikan pada anak-anak yang menderita dwarfisme hipofisis, dapat menyebabkan peningkatan tinggi badan yang berlebihan. GH manusia rekombinan juga dapat digunakan sebagai hormon pengganti pada pasien dewasa dengan panhipopituitarisme. Hormon hipofisis hanya dapat diberikan dengan cara disuntikan. Sehingga, terapi harian pengganti hormon kelenjar target akibat defisiensi hipofisis untuk jangka waktu yang lama, hanya diberikan sebagai alternatif. Sebagai contoh, insufisiensi adrenal yang disebabkan karena defisiensi sekresi ACTH diobati dengan memberikan hidrokortison oral. Pemberian  tiroksin oral dapat mengobati hipotitoidisme yang diakibatkan defisiensi TSH. Pemberian androgen dan estrogen dapat mengobati defisiensi gonadotropin ,namun pemberian gonadotropin tersebut dapat menginduksi ovulasi. Defisiensi GH membutuhkan injeksi GH setiap hari.
Insufisiensi hipofise menyebabkan hipofungsi organ sekunder. Hipofungsi hipofise jarang terjadi, namun dapat saja terjadi dalam setiap kelompok usia. Kondisi ini dapat mengenai semua sel hipofise (panhipopituitarisme) atau hanya sel-sel tertentu, terbatas pada satu subset sel-sel hipofise anterior (mis: hipogonadisme sekunder terhadap defisiensi sel-sel gonadotropik) atau sel-sel hipofise posterior (mis: diabetes insipidus).

a.    Patofisiologi hipofungsi hipofise
Penyebab hipofungsi hipofise dapat bersifat primer dan sekunder. Primer bila gangguannya terdapat pada kelenjar hipofise itu sendiri, dan sekunder bila gangguan terdapat pada hipotalamus. Penyebab tersebut termasuk diantaranya :
1)   Defek perkembangan kongenital, seperti pada dwarfisme pituitari atau hipogonadisme.
2)   Tumor yang merusak hipofise (mis: adenoma hipofise nonfungsional) atau merusak hipotalamus (mis: kraniofaringioma atau glioma).
3)   Iskemia, seperti pada nekrosis postpartum (sindrom sheehan’s).
Diagnosis insufisiensi hipofise dapat diduga secara klinik namun harus ditegakan melaui uji biokimia yang sesuai, yang akan menunjukan defisiensi hormon.
Pada orang dewasa dikenal sebagai (Penyakit simmonds) yang ditandai dengan kelemahan umum, intoleransi terhadap dingin, nafsu makan buruk, penurunan berat badan, dan hipotensi. Wanita yang terserang penyakit ini tidak akan mengalami menstruasi dan pada pria akan menderita impotensi dan kehilanngan libido. Insufisiensi hipofise pada masa kanak-kanak akan mengakibatkan dwarfisme.
b.    Gangguan sekresi Vasopresin
Vasopresin arginin ( AVP ) merupakan suatu hormon antideuretik (ADH ) yang dibuat dinukleus supraoptik dan paraventrikuler hipotalamus bersama dengan protein pengikatnya, yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian diangkut dari badan – badan sel neuron tempat pembuatannya, melalui akson menuju keujung – ujung saraf yang berada dikelenjar hipofisis posterior tempat penyimpanannya. AVP dan neurofisinnya yang tidak aktif kemudian disekresi bila ada rangsang tertentu. Sekresi AVP diatur  oleh rangsangan yang meningkat pada reseptor volume dan osmotik. Suatu peningkatan osmolalitas cairan esktraseluler atau penurunan volume intravaskuler akan merangsang sekresi AVP ,AVP kemudian terikat pada sebuah reseptor yaitu AVPR2, ditubulus ginjal melalui pengaktifan adenilat siklase  dan peningkatan turunan siklis adenosin monofosfat (cAMP). Akhirnya meningkatkan permeabilitas epitel duktus koligentes ginjal terhadap air.
Gangguan sekresi AVP termasuk diabetes insipidus (DI) dan sindrom ketidakpadanan sekresi  ADH (SIADH). Gangguan ini dapat terjadi akibat dekstrusi nukleus hipotalamik yaitu tempat vasopresin  disintesis (DI sentral) atau sebagai akibat tidak responsifnya tubulus ginjal terhadap vasipresin (DI nefrogenik) walaupun kadar hormon ini sangat tinggi. ( Brunner & Suddarth.2001 : 1338 )
Ada beberapa keadaan yang dapat mengakibatkan diabetes insipidus, termasuk tumor – tumor dihipotalamus, tumor – tumor besar hipofisis yang meluas ke luar sela tursika dan menghancurkan nukleus hipotalamik, trauma kepala, cedera hipotalamus pada saat operasi, oklusi pembuluh darah intraserebral dan penyakit – penyakit granulomatosa. DI nefrogenik dapat diturunkan melalui mutasi dalam reseptor vasopresin.
Pasien dengan DI mangalami polidipsi dan poliuria dengan volume urine antara 5 – 10 L/ hari kehilangan cairan yang banyak melalui ginjal ini dapat dikompensasi dengan minum banyak cairan. Bila pasien tidak mampu mempertahankan masukan air minum, berat badannya menurun, kulit dan membran mukosa menjadi kering. Karena minum banyak air  untuk mempertahankan hidrasi tubuh, pasien – pasien ini akan mengeluh penuh pada perut dan anoreksia. Rasa haus dan buang air kecil berlangsung terus pada malam hari sehingga pasien akan merasa terganggu tidurnya karena harus sering buang air kecil pada malam hari. Volume urine menurun dan berat jenis uerine meningkat segera setelah pemberian vasopresin. Pasien – pasien ini mengalami defisiensi vasopresin, namun memiliki respon ginjal yang normal terhadap hormon. Sebaliknya pasien dengan DI nefrogenik gagal untuk merespon AVP.



DI sentral diobati dngan AVP. Preparat yang paling sering dipakai 1-deamino-8 D-arginin vasopresin (DDAVP), diberikan intranasal atau oral dan memiliki jangka waktu kerja dari 12 jam sampai 24 jam. DI nefrogenik ditangani dengan penggantian cairan, pengobatan penyakit ginjal yang mendasarinya, dan penghentian terapi lithium bila memungkinkan. Pengobatan dengan kombinasi hidroklorotiazid dan amilorid dapat menurunkan beratnya poliuria. Pada anak – anak dengan DI nefrogenik, keadaan tersebut akan membaik sesuai dengan keadaan umur.
SIADH biasanya ditemukan menyertai penyakit – penyakit hipotalamus atau paru atau terjadi setelah pemberian obat. Pasien akan mengalami sindrom hipoosmolar dengan kelebihan dan gangguan retensi air. Gejala –gejalanya merupakan akibat adanya hiponatremia berat dan menyerang sistem saraf pusat sehingga pasien mudah marah, kekacauan mental, kejang, dan koma, terutama bila natrium dan serum menurun dibawah 120 mEq/L osmolalitas  serum rendah, dan osmolalitas urine tinggi dan meningkat diatas osmolalitas serum. Pada pasien – pasien ini, BUN dan serun keratinin kadarnya rendah dan natrium urine lebih tinggi dari 20 mEq/L.
Pengobatan SIADH didasarkan pada pembatasan pemberian air, yaitu kurang dari 1000 ml/hari dan pemberian 3% - 5% larutan NaCL yang dicampur dengan furosemid. Diureti ini akan menginduksi pengeluaran cairan dan NaCl, yang disimpan dalam bentuk hipertonik. Demeklosiklin, suatu obat yang secara langsung menghambat efek vasopresin pada tingkat tubulus ginjal, dapat dipakai dengan efektif untuk memperbaiki hipoosmolalitas yang terjadi akibat adanya SIADH.

c.    Diabetes Insipidus (DI)
Diabetes insipidus merupakan kelainan pada lobus posterior hipofisis yang di sebabkan oleh defisiensi vasopresin yang merupakan hormon antidiuretik.(ADH). Diabetes Insipidus (DI) ditandai dengan kurangnya ADH sekunder terhadap lesi yang menghancurkan hipotalamus, stalk hipofise, atau hipofise posterior. Kondisi ini dapat disebabkan oleh tumor, infeksi otak atau meningen, hemoragi intrakranial, atau trauma yang mengenai tulanga bagian dasar tengkorak. Klien dengan diabetes insipidus mengeluarkan urine hipotonik dalam jumlah yang besar (5 sampai 6 liter per hari). ( Brunner & Suddarth.2001 : 1336 )

Diabetes insipidus dikelompokan menjadi nefrogenik (adalah diabetes insipidus yang terjadi secara herediter dimana tubulus ginjal tidak berespons secara tepat terhadap ADH, sementara kadar hormon dalam serum normal). Primer (DI yang disebabkan oleh gangguan pada hipofise), sekunder (DI yang disebabkan oleh tumor pada daerah hipofise-hipotalamus, dan tumor sekunder metatasis dari paru-paru dan payudara, dan DI yang berkaitan dengan obat-obatan diakibatkan oleh pemberian litium karbonat [Eskalith, Lihthobid, Carbolith] dan Demeclocyline [Declomycin] ). Obat-obatan ini dapat mempengaruhi respons tubulus ginjal terhadap air.
Insufisiensi hipotalamus membutuhkan terapi penggantian hormon yang sesuai. Terapi penggantian dengan ADH menunjukkan hasil yang efektif dalam mengobati DI.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar