Senin, 17 Oktober 2011

Sholat orang sakit

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
      Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama (Islam).
      Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga
shalat –shalat sunah.
      Perawat memberikan pelayanan yang holistik mencakup semua aspek, salah satu nya adalah aspek spiritual. Oleh karena itu kami tertarik untuk membahas tentang bagaimana peranan perawat dalam bidang spiritual.

B.Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
      Memahami Konsep keperawatan Islami khususnya dengan masalah kewajiban sholat dalam segala kondisi.

C.Ruang Lingkup Penulisan
Penulis membatasi pada bahasan materi tentang asuhan keperawatan kebutuhan spiritual(kewajiban sholat pada pasien yang tidak bisa berdiri, duduk dan baring), lengkap dengan dalil dan hadist


D.    Metode Penulisan
     Penulisan ini menggunakan metode deskriptif dengan tinjauan literature yang diperoleh dari buku-buku perpustakaan dan sumber dari internet

E.     Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari 3 (tiga) bab, yaitu :
Bab I        Merupakan Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Tujuan Penulisan,  Metode Penulisan, Sistematika Penulisan
Bab II       Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Islami, Tata Cara Shalat Bagi Orang Yang Sakit ,Hukum-Hukum Berhubungan dengan Shalat Orang Sakit, Shalat Orang Yang Sakit

Bab III     Merupakan Penutup yang terdiri dari: Kesimpulan dan Saran
















BAB II
TINJAUAN TEORITIS

Bab ini menyajikan tentang landasan teori yang terdiri dari konsep dasar, respon, dan asuhan keperawatan kebutuhan spiritual ( kewajiban sholat pada pasien yang tidak bisa berdiri,duduk dan berbaring) .

A.     Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Islami

1.        Pengertian
Asuhan Keperawatan Islami yang dikembangkan oleh Kelompok kerja Keperawatan Islam adalah pada tataran nilai-nilai yang Insyaa Allah akan dapat menjadi acuan pelaksanaan/Implementasi asuhan keperawatan pada tatanan pelayanan kesehatan. Asuhan keperawatan Islami dapat dilihat sebagai suatu sistem  yang terdiri dari masukan, proses dan keluaran yang seluruhnya dapat digali dari nilai-nilai Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist.
Allah berfirman :
“Dan orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebgaian yang lain. Mereka menyeruruh  (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan RasulNya”. (Q.S. At-Taubah :71)

“…Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertawalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah maha berat siksa-Nya”.
(Q.S. Al-Maa-idah: 2) . 

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri”. ( Q.S. Al-Israa’:7) 
“…dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…” (Q.S. Al-Qashash: 77) 



“Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” (Q.S. Ali Imran:159) 
Barang siapa yang berkeinginan untuk diselamatkan oleh Allah dari bencana pada hari kiamat, maka bantulah orang yang dalam kesulitan/hindarkan kesulitannya (HR. Muslim). 
Tiada beriman seorang dari kamu sehingga dia menyukai bagi saudaranya apa yang dusukai untuk dirinya. (HR. Ahmad)

Ayat-ayat dan hadist di atas mendasari dari pelaksanaan asuhan keperawatan Islami yang diberikan oleh seorang perawat muslim, ditambah dengan riwayat-riwayat  wanita-wanita dizaman Rasulullah dalam melakukan perawatan, maka itulah yang sebenarnya konsep “Caring” dalam keperawatan Islam, bukan hanya asuhan kemanusiaan dengan lemah lembut  berdasarkan standar dan etika profesi, tetapi caring yang didasari keimanan pada Allah dengan menjankan perintahNya melalui ayat-ayat Alqur’an dengan tujuan akhir mendapatkan ridho Allah swt.

2.      Masukan (input)
Dalam asuhan keperawatan masukan adalah segala sumber-sumber yang mendukung terjadinya proses asuhan keperawatan Islami. 
a.        Al-Qur’an dan Hadist sebagai keyakinan manusia yang beriman.
b.        Manusia dalam  Paradigma keperawatan di jelaskan sebagai hamba dan sebagai khalifah; sebagai memimpin dan mengatur bumi ,memakmurkan bumi, menyebarkan keadilan dan kemaslahatan. Klien sebagai mahluk yang berpotensi secara aktif. Manusia juga sebagai mahluk yang mempunyai fitrah apakah sebagai perawat ataupunklien sebagaimana Allah berfirman :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui“(Q.S. Ar ruum : 30).
c.        Lingkungan eksternal dan Internal serta lingkungan spiritual. Tatanan pelayanan kesehatan juga termasuk lingkungan yang harus disiapkan untuk pelaksanaan asuhan keperawatan Islami. 
d.       Profesi Keperawatan yang merupakan manifestasi dari ibadah dan media da’wah amar ma’ruf nahi munkar.

B.            Shalat Orang Yang Sakit
Seorang hamba terkadang diuji oleh Allah dengan sakit yang menimpanya, sakit tersebut bisa berupa sakit yang ringan tetapi tidak sedikit pula seorang hamba yang diuji oleh Allah dengan diberi sakit yang menyebabkan hamba tersebut harus dirawat dirumah sakit sehingga menghabiskan hari-harinya dengan beristirahat diatas dipan. Dalam keadaan demikian, kaum muslimin dibagi menjadi dua golongan yang berkenaan tentang kewajiban shalat yang harus dilakukannya sebagai seorang muslim, pertama enggan melaksanakan shalat karena alasan sakitnya -baik sakit ringan atau berat- dan kedua memaksakan diri shalat layaknya ketika masih sehat sehingga  sakitnya tambah parah atau tidak kunjung sembuh.
Syari’at Islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tak ada satupun beban syari’at yang diwajibkan kepada seseorang di luar kemampuannya. Allah azza wa jalla sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS.al-Baqoroh: 286)
Allah subhanahu wa ta’ala juga memerintahkan kaum muslimin untuk agar bertaqwa sesuai dengan kemampuan mereka. Allah berfirman,
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)
Orang yang sakit tidak sama dengan orang yang sehat. Masing-masing harus berusaha melaksanakan kewajibannya menurut kemampuannya. Dari sini, nampaklah keindahan dan kemudahan syariat Islam.
Diantara kewajiban agung yang wajib dilakukan orang yang sakit adalah shalat. Banyak sekali kaum muslimin yang terkadang meninggalkan shalat dengan dalih sakit atau memaksakan diri melakukan shalat dengan tata cara yang biasa dilakukan orang sehat.
Akhirnya, mereka pun merasa berat dan merasa terbebani dengan ibadah shalat. Untuk itu, solusinya adalah mengetahui hukum-hukum dan tata cara shalat bagi orang yang sakit sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama.

C.     Hukum-Hukum Berhubungan dengan Shalat Orang Sakit
Diantara hukum-hukum shalat bagi orang yang sakit adalah sebagai berikut:
1.                   Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat pada waktunya dan melaksanakannya menurut kemampuannya, sebagaimana diperintahkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)
Dan sabda Nabi shollallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Imron bin Husain:“Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau shollallahu’alaihi wa sallam menjawab: Shalatlahdengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR. Bukhori no.1117)
2.                   Apabila melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka diperbolehkan menjama’ (menggabung) shalat, shalat Dzuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ baik dengan jama’ taqdim atau takhir, dengan cara memilih yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Diantara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abbas radliyallahu’anhu yang berbunyi:
“Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam telah menjama’ antara Dzuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib rahimahullah berkata: “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas radliyallahu’anhu: “Mengapa beliau berbuat demikian?” Beliau radliyallahu’anhu menjawab: “Agar tidak menyusahkan umatnya. (HR. Muslim no. 705)
Dalam hadits diatas jelas Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam membolehkan kita menjama’ shalat karena adanya rasa berat yang menyusahkan (masyaqqah) dan sakit adalah masyaqqah. Ini juga dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit dengan orang yang terkena istihadhoh yang diperintahkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam untuk mengakhirkan shalat Dzuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta mempercepat Isya’.
3.                  Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan shalat wajib dalam segala kondisi apapun selama akalnya masih baik
4.                  Orang sakit yang berat shalat jama’ah di masjid atau ia khawatir akan menambah dan atau memperlambat kesembuhannya jka shalat di masjid, maka dibolehkan tidak shalat berjama’ah. Imam ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama bahwa orang sakit dibolehkan tidak shalat berjama’ah karena sakitnya. Hal itu kerena nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika sakit tidak hadir di masjid dan berkata:
“Perintahkan Abu Bakar radliyallahu’anhu agar mengimami shalat. (Muttafaqun ‘alaihi)

D.     Tata Cara Shalat Bagi Orang Yang Sakit
Tata cara shalat bagi orang sakit adalah sebagai berikut:
1.                    Diwajibkan bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila mampu dan tidak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib merupakan rukun shalat. Allah azza wa jalla berfirman:
وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ….
”Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’ ”(QS. Al-Baqarah: 238)
Diwajibkan juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat, bersandar ke tembok atau berpegangan tiang, berdasarkan hadits Ummu Qais radliyallahu’anha yang berbunyi:
”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah 319)
Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang rukuk.
Syaikh ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, ”Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku’ atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang, ataupun manusia.”
2.                  Orang yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud, ia tetap wajib berdiri. Ia harus shalat dengan berdiri dan melakukan ruku’ dengan menundukkan badannya. Bila ia tidak mampu membungkukkan punggungnya sama sekali, maka cukup dengan menundukkan lehernya, kemudian duduk, lalu menundukkan badan untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.
3.                  Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka ia melakukan shalatnya dengan duduk, berdasarkan hadits ’Imron bin Hushain dan ijma’ para ulama. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, ”Para ulama terlah berijma’ bahwa orang yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan duduk”.
4.                  Orang yang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan duduk. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: ”Yang benar adalah, kesulitan (masyaqqah) membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan duduk. Apabila seorang merasa susah mengerjakan shalat berdiri, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan duduk berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
…….يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ …..
”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah:185)
Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun masih mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan tidak berpuasa, demikian juga shalat, apabila berat untuk berdiri maka boleh mengerjakan shalat dengan duduk”. Orang yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada posisi berdirinya, berdasarkan hadits ’Aisyah radliyallahu’anha yang berbunyi:
”Aku melihat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam shalat dengan bersila”.
Juga, karena duduk bersila secara umum lebih mudah dan lebih tuma’ninah (tenang) daripada duduk iftirasy.
Apabila rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan punggung dan meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan berdiri
Dalam keadaan demikian, masih diwajibkan sujud diatas tanah dengan dasar keumumam hadits Ibnu Abbas radliyallahu’anhu yang berbunyi:
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang; dahi –beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung-, kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung kedua telapak kaki.” (Muttafaqqun a’alaihi).
Bila tetap tidak mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua telapak tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila tidak mampu, hendaknya ia meletakkan tangannya di lututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’.
5.                   Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara melakukannya adalah dengan cara berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits ’Imran bin al-Husain radliyallahu’anhu:
”Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR. Al-Bukhori no.1117)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak menjelaskan pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke kiri, sehingga yang utama adalah yang termudah bagi keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya, maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits ’Aisyah radliyallahu’anha yang berbunyi:
”Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyukai mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan bersucinya.” (HR. Muslim no.396).
Melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat merendahkan kepala ke dada, ketentuannya, sujud lebih rendah daripada ruku’. Apabila tidak mampu menggerakkan kepalanya, maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:
a)      Melakukannya dengan mata. Apabila ruku’, ia memejamkan matanya sedikit kemudian mengucapkan kata ”sami’allahu liman hamidah” lalu membuka matanya. Apabila sujud maka memejamkan matanya lebih dalam.
b)      Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan perkataan.
c)      Gugur kewajiban shalatnya. Inilah adalah pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat kedua dengan menyatakan, ”Yang rajih dari tiga pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja, karena ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan perkataan, tetap tidak gugur, karena ia mampu melakukannya dan Allah berfirman”:
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)
6.                   Orang yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah barat.
7.                   Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau membantu mengarahkannya, maka hendaklah ia shalat sesuai keadaannya tersebut, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا        
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah/ 2:286).



8.                  Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai keadaannya dengan dasar firman Allah subhanahu wa ta’ala:
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)
9.                   Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan di atas (ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya), hendaknya dia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat.
10.                 Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang sebelumnya tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia wajib melaksanakan shalatnya dengan kemampuan yang ada dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu mengulang yang telah lalu, karena yang telah lalu dari shalat tersebut telah sah.
11.              Apabila orang yang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah, hendaknya ia cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini didasarkan hadits Jabir radliyallahu’anhu yang berbunyi:
”Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya sedang mengerjakan shalat di atas (bertelekan) bantal, beliau pun mengambil dan melemparnya. Kemudian ia mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pun mengambilnya dan melemparnya. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imaa’) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu.”
Inilah sebagian hukum yang menjelaskan tata cara shalat bagi orang sakit, mudah-mudahan dapat memberikan bimbingan kepada mereka. Dengan harapan, setelah ini mereka tidak meninggalkan shalat hanya karena sakit yang dideritanya.


E.      Peran Perawat Dalam Membimbing Praktek Ibadah Pasien

 Peranan perawat tidak sebatas memberikan pengobatan secara fisik melainkan juga pengobatan psikis (kejiwaan) pasien. Diyakini, dengan dibantu oleh terapi secara psikis akan lebih membantu kesembuhan pasien karena kondisi kejiwaannya lebih tenang.
Menurut Dra. Suharyati Samba, kedudukan perawat amat penting, karena satu-satunya tenaga kesehatan yang secara 24 jam dituntut untuk selalu di samping pasien. Kebutuhan dasar manusia dalam pandangan keperawatan meliputi biologi, psikis, sosial, dan spiritual hingga fungsi perawat untuk membantu pasien. Dalam menjalankan tugas, seorang perawat harus melandasi kepada pikiran dan perasaan cinta, afeksi, dan komitmen mendalam kepada pasiennya yang dapat dilakukan dengan cara:

1.      Perawat juga bisa membimbing ritual keagamaan sesuai dengan keyakinan klien, seperti cara bertayamum, salat sambil tiduran, atau berzikir dan berdoa. “Bila perlu perawat dapat mendatangkan guru agama pasien untuk dapat memberikan bimbingan rohani hingga merasa tenang dan damai. Dalam kondisi sakaratul maut perawat berkewajiban mengantarkan klien agar wafat dengan damai dan bermartabat.

2.      Tugas seorang perawat, menekankan pasien agar tidak berputus asa apalagi menyatakan kepada pasiennya tidak memiliki harapan hidup lagi. “Pernyataan tidak memiliki harapan hidup untuk seorang muslim tidak dapat dibenarkan. Meski secara medis tidak lagi bisa menanganinya, tapi kalau Allah bisa saja menyembuhkannya dengan mengabaikan hukum sebab akibat, katanya”.


3.   Perawat juga memandu pasiennya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT hingga kondisinya semakin shaleh yang bisa mendatangkan ”manjurnya” doa. Sedangkan Isep Zainal Arifin menekankan, perawat bisa memberikan bimbingan langsung seperti tukar pikiran, berdoa bersama, dan bimbingan ibadah. “Bimbingan tak langsung bisa berupa ceramah, percikan kata hikmah, buletin, doa tertulis, maupun tuntunan ibadah secara tertulis. Dengan bimbingan itu diharapkan dapat membantu proses kesembuhan pasien,” timpalnya.

Peran perawat dalam membimbing pasien praktek ibadah antara lain :
1. Membimbing pasien untuk berwudhu atau bertayamum (thaharah)
Seorang perawat harus memiliki rasa perhatian penuh terhadap pasien, bahkan perawatpun harus mapan dalam membantu pasien saat bersuci. Pada saat hendak melaksanakan ibadah maka perawat harus bisa membantu pasien untuk bersuci (thaharah) terlebih dahulu.
Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Alquran dan sunah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian, dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6).

2. Membimbing pasien sholat apabila telah tiba waktunya
Shalat hukumnya fardhu (wajib) bagi setiap orang yang beriman yang telah memenuhi syarat, baik laki-laki maupun perempuan walaupun dalam keadaan sakit. Shalat dibebankan kepada setiap kaum muslimin dan tidak boleh meninggalkannya, kecuali bagi orang gila, anak kecil yang belum baligh, dan wanita yang sedang haid atau nifas.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita untuk mendirikan shalat, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’anul Karim di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, ”Maka dirikanlah shalat itu, sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (Q. S. An-Nisa’: 103)

Adapun ketentuan perawat dalam membimbing praktek shalat bagi pasien :
a.  wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat fardhu dalam keadaan berdiri, walaupun tidak bisa berdiri tegak (berdiri miring), atau bersandar pada dinding atau tongkat.
b.  jika tidak mampu shalat sambil berdiri, dia diperbolehkan shalat sambil duduk. Ketika shalat sambil duduk, yang paling utama jika ingin melakukan gerakan berdiri (qiyam) dan ruku’ adalah dengan duduk mutarobi’an (duduk dengan kaki bersilang di bawah paha.
c. jika tidak mampu mengerjakan shalat sambil duduk, boleh shalat sambil tidur menyamping (yang paling utama tidur menyamping pada sisi kanan) dan badan mengarah ke arah kiblat. Jika tidak mampu diarahkan ke kiblat, boleh shalat ke arah mana saja.
d. jika tidak mampu mengerjakan shalat sambil tidur menyamping, maka dibolehkan tidur terlentang. Caranya adalah: kaki dihadapkan ke arah kiblat dan sangat bagus jika kepala agak sedikit diangkat supaya terlihat menghadap ke kiblat. Jika kakinya tadi tidak mampu dihadapkan ke kiblat, boleh shalat dalam keadaan bagaimanapun. Jika memang terpaksa seperti ini, shalatnya tidak perlu diulangi.

e. wajib bagi orang yang sakit melakukan gerakan ruku’ dan sujud. Jika tidak mampu, boleh dengan memberi isyarat pada dua gerakan tadi dengan kepala. Dan sujud diusahakan lebih rendah daripada ruku’. Jika mampu ruku’, namun tidak mampu sujud, maka dia melakukan ruku’ sebagaimana ruku’ yang biasa dilakukan dan sujud dilakukan dengan isyarat. Jika dia mampu sujud, namun tidak mampu ruku’, maka dia melakukan sujud sebagaimana yang biasa dilakukan dan ruku’ dilakukan dengan isyarat.
f. jika tidak mampu berisyarat dengan kepala ketika ruku’ dan sujud, boleh berisyarat dengan kedipan mata. Jika ruku’, mata dikedipkan sedikit. Namun ketika sujud, mata lebih dikedipkan lagi. Adapun isyarat dengan jari sebagaimana yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang sakit, maka ini tidaklah benar. Aku sendiri tidak mengetahui kalau perbuatan semacam ini memiliki landasan dari Al Kitab dan As Sunnah atau perkataan ulama.
g.  jika tidak mampu berisyarat dengan kepala atau kedipan mata, maka dibolehkan shalat dalam hati. Dia tetap bertakbir dan membaca surat, lalu berniat melakukan ruku’, sujud, berdiri dan duduk dengan dibayangkan dalam hati. Karena setiap orang akan memperoleh yang dia niatkan.
h. wajib bagi setiap orang yang sakit untuk mengerjakan shalat di waktunya (tidak boleh sampai keluar waktu), dia mengerjakan sesuai dengan kemampuannya sebagaimana yang telah dijelaskan dan tidak boleh mengakhirkan satu shalat dari waktunya.

      3. Membimbing tadarus Al-Qur’an
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. ( Al Ankabuut (29) : 45)

4. Membimbing agar selalu berdoa kepada Allah
Pasien dalam keadaan sakit apapun tetap harus memohon petolongan kepada Allah SWT, karena hakekatnya Allahlah yang memberikan kesembuhan bagi yang sedang sakit. Seorang perawat harus mampu membimbing berdoa pasiennya agar lekas diberikan kesembuhan oleh Allah SWT.
Allah SWT berfirman :
“Dan Tuhanmu berfirman:”Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. 40:60)

5. Membimbing pasien agar selalu berdzikir kepada Allah
Keadaan batin  pasien tidak stabil, selalu berprasangka buruk dengan apa yang Allah ujikan kepadanya. Sebagai perawat yang profesional kita harus mampu membimbing pasien agar selalu mengingat Allah (dzikir) agar batin pasien menjadi lebih tenang dan tidak berprasangka buruk terhadap apa yang pasien hadapi.
Allah berfirman dalam surat Ar-Ra’d : 28 yang artinya :
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”

















BAB III
PENUTUP

Bab ini membahas kesimpulan dan saran yang kelompok sampaikan setelah penyusunan makalah ini.
A.Kesimpulan
        Shalat merupakan penyerahan diri secara talalitas untuk menghadap Tuhan, dengan perkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara.
        Sholat bagi orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua harus berusaha melaksanakan kewajibannya menurut kemampuan masing-masing.Banyak sekali kaum muslimin yang kadang meninggalkan sholat dengan dalih sakit atau memaksakan diri sholat dengan tata-tata cara yang biasa dilakukan orang sehat. Akhirnya merasakan beratnya sholat bahkan merasakan hal itu sebagai beban yang menyusahkannya.

B. Saran
     Berdasarkan kesimpulan diatas kelompok mencoba mengemukakan saran sebagai pertimbangan untuk meningkatkan kualitas Asuhan Keperawatan. Adapun saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
Kewajiban mengenal hukum-hukum dan tata cara sholat orang yang sakit sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama.
Di antara hukum-hukum yang berhubungan dengan orang sakit dalam ibadah sholatnya adalah:
1. Orang yang sakit tetap wajib sholat diwaktunya dan melaksanakannya menurut kemampuannya
2. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan sholat wajib dalam segala kondisinya selama akalnya masih baik .
3. Orang sakit yang berat untuk mendatangi masjid berjama’ah atau akan menambah dan atau memperlambat kesembuhannya bila sholat berjamaah di masjid maka dibolehkan tidak sholat berjama’ah

                                                     Daftar Pustaka

http://ekonomisyariat.com/fikih-umum/sholat-orang-yang-sakit.html
http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/04/13/shalat-orang-yang-sakit/
http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://3.bp.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar